Hal itu menurut Wakil Ketua Harian YLKI Sudaryatmo, harus dilakukan lantaran saat ini sudah ada dua putusan sidang yang menyatakan bahwa keduanya sepakat bersekongkol soal harga jual skutik di Indonesia.
“Tapi dengan dua tingkat keputusan yang sudah menguatkan itu menurut saya, kami mendorong agar Yamaha dan Honda mengoreksi harga,” kata Sudaryatmo kepada BRVIndonesia.com melalui pesan singkat, Kamis (7/12).
Temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap ada kejanggalan terhadap harga skutik pada kelas tersebut. Seharusnya dijual Rp8,7 juta, Yamaha dan Honda membanderolnya di kisaran harga Rp14-18 juta.
“Ya karena menurut KPPU harga jual motor matik dua (produsen) tersebut di atas harga fair,” ucap Sudaryatmo.
Dengan dua putusan dari tingkat persidangan berbeda, ia mengatakan bahwa dua pabrikan asal Jepang tersebut telah memperoleh untung berlebih yang berujung kepada kerugian konsumen.
“Kartel membuat pelaku usaha menikmati keuntungan berlebihan. Tapi sisi lain membuat kerugian konsumen karena harus membayar lebih mahal di luar kewajaran,” ungkap dia.
Bukan Barang Pokok, Tapi Dikonsumsi Massal
Lebih lanjut, ia sedikit membeberkan klasifikasi kartel hanya diperuntukan bagi sesuatu yang menyangkut kebutuhan pokok. Mengingat, sepeda motor sendiri sebenarnya bukan termasuk dalam kebutuhan pokok seperti bahan makanan dan lainnya.
Namun, baginya, kartel harga tetap dapat digunakan sepanjang produk tersebut dikonsumsi massal.
“Ya sebenarnya kartel itu bukan hanya untuk kebutuhan pokok ya. Tapi sepanjang produk dikonsumsi massal dan bisa dibuktikan bahwa konsumen membayar lebih mahal dari harga yang wajar,” ucapnya.
Sehingga, ia merasa KPPU memiliki kewenangan untuk membuktikan. Tujuannya, agar praktik kartel antara Yamaha dan Honda dapat dihentikan. “Menurut saya, KPPU punya kewenangan membuktikan supaya praktek harga yang tidak wajar dihentikan,” kata Sudaryatmo.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan, berpendapat, sangat sulit untuk melakukan persekongkolan pada industri bersifat terbuka, seperti industri roda dua.
“Siapa saja boleh berbisnis, bikin pabrik atau jualan di Indonesia. Jadi di dalam pasar yang tidak diatur ini kok rasanya menurut saya, praktek kartel itu agak sulit ya,” kata Putu, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, pasar industri sepeda motor berbeda ketimbang bisnis jasa seperti pesawat terbang, pengadaan daging hingga obat-obatan. Sebab, pasar atau konsumennya mengarah kepada kehidupan masyarakat luas.
“Karena itu (industri di luar sepeda motor) menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau motor, emang semua harus punya? Kalau tidak pakai motor bakal mati? Karena pasarnya regulated, market-nya diatur,” ujar Putu.
Oleh karenanya, dalam hal menentukan bahkan mengatur harga pada industri tersebut merupakan kehendak masing-masing produsen.
“Jadi maksud saya untuk pasar yang tidak diatur, hati-hati dalam menuduh suatu kartel. Karena pasar tidak diatur, kalau tidak suka bisa impor, kecuali dilarang. Yang diatur itu masalah keselamatan, investasi. Artinya dia harus investasi baik dan benar, misalnya bayar pajak. Apa dia sudah lakukan semua,” ungkapnya.
Pemerintah juga sudah membuat aturan mengenai industri otomotif. Peraturan itu tertuang dalam, Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Tentang Perubahan, atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34/M-IND/PER/3/2015 Tentang Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih dan Industri Sepeda Motor. (evn/evn)